Kamis, 14 April 2011

HUBUNGAN ANTARA ASPEK LEGAL DAN MORAL_abdul.com


HUBUNGAN ANTARA ASPEK LEGAL DAN MORAL

I.          PENDAHULUAN
Ada pepatah Romawi Kuno yang menyatakan: “Quid leges sine moribus” (hukum punya kekuatan, jika dijiwai oleh moralitas). Pepatah ini mengajarkan bahwa kualitas sebuah produk hukum, terletak pada bobot moral yang menjiwainya. Dengan ungkapan lain, sebaik apapun perangkat dan penerapan hukum, apabila tidak dilandasi dengan moralitas yang tinggi, akan tampak kosong dan hampa belaka. Pernyataan di atas didukung oleh argumentasi bahwa penerapan hukum bertujuan erat dengan rasa keadilan masyarakat, yakni asas-asas keadilan dari masyarakat itu.
II.       RUMUSAN MASALAH
A.    Pengertian Hukum.?
B.     PengertianMoral.?
C.    Hubungan Hukum dan Moral.?
D.    Dialektika Hukum dan Moral Dalam Perspektif Islam.?

III.    PEMBAHASAN
A.     Pengertian Hukum
Hukum adalah kumpulan aturan, baik sebagai hasil pengundangan formal maupun dari kebiasaan, di mana suatu Negara atau masyarakat tertentu mengaku terikat sebagai anggota atau sebagai subyeknya, orang yang tunduk padanya atau pelakunya[1].
Hukum juga merupakan suatu proses menyeimbangkan berbagai kepentingan yang bertabrakan dan menjamin pemenuhan keinginan-keinginan secara maksimum dengan sedikit mungkin percekcokan, intinya yaitu:
1. peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat.
2. peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib.
3. peraturan itu bersifat memaksa.
4. sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tugas.


B.     Pengertian Moral
“Moral” memiliki banyak makna. Secara etimologis moral berasal dari bahasa Belanda “moural”, yang berarti kesusilaan, budi pekerti. Sedangkan menurut W.J.S. Poerwadarminta moral berarti “ajaran tentang baik buruk perbuatan dan kelakuan. Ada yang memberi pengertian moral sebagai kaidah, nilai yang terkait dengan ihwal atau perbuatan baik manusia.
Pengertian lain dari “moral” adalah “etika”. Etika dipahami sebagai keseluruhan kaidah dan nilai. Secara teoritis, terdapat tiga jenis etika, pertama, etika deskriptif (etika paparan); kedua, etika kaidah (norm-Ethick) dan ketiga, etika nilai atau sering disebut dengan etika kesusilaan.
 Moral dan akhlak sangat penting dalam pergaulan hidup di dunia ini,oleh karena itu allah SWT memerintahkan kaum muslimin untuk mengambil contoh teladan dari moral nabi Muhammad SAW dengan firmannya dalam surat al-ahzab ayat 21 yang berbunyi:
ôs)©9 tb%x. öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé& ×puZ|¡ym `yJÏj9 tb%x. (#qã_ötƒ ©!$# tPöquø9$#ur tÅzFy$# tx.sŒur ©!$# #ZŽÏVx.  
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”(al-akhzab:21)

C.     Hubungan Hukum dan Moral
hukum fiqih memberikan penilaiain terhadap perbuatan lahiriyyah para mukallaf, tidak memberi penilaian terhadap perbuatan batiniyyah seperti niat, ikhlas, iman dan akhlak. orang yang memiliki kemampuan menerima penuh, yang berhak menerima sesuatu dari orang lain, dan yang si tuntut pula kepadanya berbuat untuk orang lain memerlukan kesadaran yang tinggi agar dapat memenuhi dua macam tugas yang terletak di atas pundaknya itu. ialah tugas menerima dan berbuat.[2]
Berdasarkan kajian mengenai kaidah moral di atas, sebenarnya kaidah hukum dijabarkan dari kaidah moral. Paling tidak, terdapat dua argumen: pertama, pandangan positifistik Kant yang menyatakan bahwa hukum dipisahkan dari kaidah moral. Menurut Coulson dan Kerr, hukum positif dipisahkan dari keadilan dan etika. Menurut Hukum murni ala Kelsen, etika dan filsafat jauh dari hukum. Ia menentang filsafat dan berkeinginan untuk menciptakan ilmu hukum murni, meninggalkan semua materi yang tidak relevan, dan memisahkan yurisprudensi dari ilmu-ilmu sosial.
Menurut Kant, kaidah hukum hanya mengantarkan pada perbuatan-perbuatan lahiriyah. Jadi, berbuat sesuai dengan kaidah hukum berarti berbuat sesuai perintah hukum. Sedangkan kaedah moral berkaitan dengan alasan-alasan yang mendorong perbuatan itu dilakukan, tidak sekadar melakukan perintah hukum, melakukan perbuatan baik karena dorongan moral.
        Dalam konteks ini, terdapat tiga pembagian kaedah:
Pertama, kaidah hukum yang tidak dapat dimasukkan ke dalam kaidah terpenting yang dikenal manusia, karena itu tidak bersifat moral (disebut kaidah netral atau hukum teknikal);
kedua, kaidah hukum yang dipandang sebagai kaidah yang penting bagi manusia (hukum moral);
ketiga, kaidah moral yang mengatasi hukum.
 Jika diartikan sebagai hukum positif, maka sebenarnya ada kaidah-kaidah moral di luar kaidah hukum positif tersebut, Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa hukum bertujuan untuk membentuk ketertiban dalam masyarakat, sedangkan moral bertujuan untuk membentuk pribadi setiap individu agar menjadi manusia yang baik.
D.     Dialektika Hukum dan Moral Dalam Perspektif Islam
Dalam Islam moral dikenal dengan istilah akhlak. Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din mendefinisikan akhlak sebagai berikut: “Akhlak adalah perilaku jiwa, yang dapat dengan mudah melahirkan perbuatan-perbuatan, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan”.
Apabila perilaku tersebut mengeluarkan beberapa perbuatan baik dan terpuji, baik menurut akal maupun tuntunan agama, perilaku tersebut dinamakan akhlak yang baik. Apabila perbuatan yang dikeluarkan itu jelek, maka perilaku tersebut dinamakan akhlak yang jelek. Lebih jauh al Ghazali menguraikan 4 induk atau prinsip dari budi pekerti itu sebagai berikut:

1.                                                kebijaksanaan (alhikmah),
2.                                                keberanian,
3.                                                menjagadiri
4.                                                keadilan.
Menurut al-Ghazali, barang siapa dapat melaksanakan empat prinsip ini, maka akan keluarlah keseluruhan akhlak yang baik. Ukuran baik buruk, bagus jelek, bagi seseorang tidaklah sama, sangat tergantung pada waktu, tempat, dan keadaan tertentu. Namun demikian pada umumnya terdapat kesamaan dalam hal umum mengenai prinsip-prinsip dasarnya.
Dalam Islam, ukuran tersebut didasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah. Apa yang dinyatakan baik, maka itulah ukuran kebaikan bagi umat manusia, demikian pula yangjelek.Di dalam Al-Qur’an terdapat ayat yang dapat dijadikan dasar bagi hubungan hukum dan moral, di antaranya adalah:
y7¯RÎ)ur 4n?yès9 @,è=äz 5OŠÏàtã  
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”. (Al-Qalam, Ayat 4).
Di samping Al-Qur’an, terdapat Hadis Nabi yang menyatakan: “Sesungguhnya Aku diutus untuk menyempurnakan Akhlaq yang mulia”. (Hadis Riwayat Bukhari, Ahmad dan Baihaqi).
Di sini kelihatan betapa menyatu antara perbuatan lahiriyah mukallaf yang di sebut hukum (fiqh) dengan akhlaknya yaitu ketakwaannya kepada allah, yang menjadikan dia sadar kepada hukum. kesadaran itu timbul didorong oleh iman dan ikhlasnya karena peraturan khalifah sesuai ajaran yang terkandung dalam iman.
Ahli hukum menyatakan, bahwa hukum manapun yang di susun tidak akan menemukan sasarannya kecuali yang sesuai dengan qaidah yang di anut masyarakat banyak. jika suatu hukum bertentangan dengan aqidah masyarakatnya pastilah gagal, demikian pendapat ahli hukum aliran sejarah.[3]
Profesor Hazairin dalam bukunya “Demokrasi Pancasila” menyatakan bahwa hukum tanpa moral adalah kezaliman. Moral tanpa hukum adalah anarkhi dan utopia yang menjurus kepada perikebinatangan. Hanya hukum yang dipeluk oleh kesusilaan dan berakar pada kesusilaan yang dapat mendirikan kemanusiaan. Menurut Muslihuddin “hukum tanpa keadilan dan moralitas bukanlah hukum dan tidak akan bertahan lama”. Sistem hukum yang tidak memiliki akar substansial pada keadilan dan moralitas pada akhirnya akan terpental. Menurut H.M. Rasyidi, hukum dan moral harus berdampingan, karena moral adalah pokok dari hukum.
IV.       KESIMPULAN
Uraian di atas memberikan gambaran bahwa terdapat hubungan yang tidak dapat dipisahkan antara hukum dan moral. Dalam perspektif hukum Islam, moral justru menjadi ruh bagi hukum. Perintah dan larangan yang melekat di dalam norma hukum Islam senantiasa memuat pesan moral . Berbagai literatur Hukum Islam dari klasik hingga modern menunjukkan bahwa yang terpenting dari hukum itu adalah maqashidu al-syâr’inya, atau tujuan akhir dari hukum itu sendiri, yaitu menegakkan keadilan, dan demi kemaslahatan umat manusia.
Hukum adalah kumpulan aturan, baik sebagai hasil pengundangan formal maupun dari kebiasaan, di mana suatu Negara atau masyarakat tertentu mengaku terikat sebagai anggota atau sebagai subyeknya, orang yang tunduk padanya atau pelakunya.
“Moral” memiliki banyak makna. Secara etimologis moral berasal dari bahasa Belanda “moral”, yang berarti kesusilaan, budi pekerti. Sedangkan menurut W.J.S. Poerwadarminta moral berarti ajaran tentang baik buruk perbuatan dan kelakuan. Ada yang memberi pengertian moral sebagai kaidah, nilai yang terkait dengan ihwal atau perbuatan baik manusia.

V.          PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami buat, apabila masih banyak terjadi kesalahan dalam penyusunan makalah ini, maka kami mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif  supaya dalam penyusunan makalah ke depan lebih baik. Semoga makalah ini dapat bermafaat bagi pemakalah dan pembaca pada umumnya.



DAFTAR PUSTAKA


Muslihuddin Muhammad,  filsafat hukum islam dan pemikiran orientalis, Yogjakarta, Tiara wacana yogja, 1991.
Samanhudi, Filsafat Hukum Islam. Jakarta, Bumi Aksara Jakarta. 1992.




























HUBUNGAN ANTARA ASPEK LEGAL DAN MORAL

MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah: Filsafat Hukum Islam
Dosen Pengampu: Bpk. Abu Hapsin


IAIN (Polos).jpg


Oleh :

Ahmad Muhajir           072111053



   
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2010



 


[1]Muslihuddin Muhammad,  filsafat hukum islam dan pemikiran orientalis, Yogjakarta, Tiara wacana yogja, 1991, Hlm. 13.
[2] Samanhudi, Filsafat Hukum Islam. Jakarta, Bumi Aksara Jakarta. 1992. Hlm. 162
[3] ibid, hlm. 164

Tidak ada komentar:

Posting Komentar