Kamis, 14 April 2011

HUKUM PEMBUKTIAN_abdul.com


HUKUM PEMBUKTIAN


I.       PENDAHULUAN
Hukum pembuktian merupakan salah satu bagian dari beberapa materi yang ada pada hukum acara. Dalam hal ini, terdapat berbagai macam pula hukum acara yang dianut oleh negara kita. Di antaranya adalah Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Tata Usaha Negara. Dengan adanya beberapa jenis hukum acara yang berbeda-beda tersebut tentu hukum pembuktian mempunyai spesifikasi dan karektiristik tersendiri dalam bidang hukum masing-masing. Mulai dari dasar hukum pembuktian, sistem dan teorinya, kepada siapa beban pembuktian diberikan dan bagaimana hakim pada masing-masing bidang hukum tersebut menilai alat-alat bukti yang diajukan.
Manakala hukum pembuktian dihubungkan dengan hukum perdata, para pakar hukum memandangnya sebagai suatu hal yang perlu adanya penelusuran lebih lanjut. Karena hukum pembuktian justru lebih banyak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata daripada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acaranya. Dari sini muncul beberapa interpretasi mereka seputar kemungkinan-kemungkinan yang dapat dijadikan alasan atas perumusan hukum pembuktian yang banyak diatur dalam KUHPer, bukan dalam KUHAPer. Inilah sebagaian dari beberapa hal yang melatar belakangi penulisan makalah ini.
II.    RUMUSAN MASALAH
A.    Pengertian Pembuktian?
B.     Sifat Pembuktian?
C.    Teori Pembuktian?
D.    Alat - alat Pembuktian?
E.     Daluwarsa?
III.  PEMBAHASAN
A.    Pengertian Pembuktian.
Hukum pembuktian dalam perkara perdata merupakan sebagian dari hukum acara perdata. Hukum pembuktian hanya berlaku dalam perkara yang mengadili suatu sengketa dengan jalan memeriksa para pihak dalam sengketa tersebut[1].
Dalam proses beracara perdata, tentu melewati tahap-tahap sebagaimana yang telah digariskan di dalam HIR/RBg. Dari bebagai rangkaian proses tersebut ada yang sangat vital yang dapat menentukan kalah atau menangnya para pihak, yaitu pembuktian. Pembuktian ini adalah memberikan keterangan kepada hakim akan kebenaran peristiwa yang menjadi dasar guagatan/ bantahan dengan alat-alat bukti yang tersedia.
Perlu diperhatikan lagi bahwasanya Hukum pembuktian dalam hukum acara perdata menduduki tempat yang amat penting. Secara formal, hukum pembuktian mengatur cara bagaimana mengadakan pembuktian seperti terdapat di dalam HIR/ Rbg. Hukum pembuktian secara yuridis, mengajukan fakta-fakta menurut hukum yang cukup untuk memberikan kepastian kepada hakim tentang suatu peristiwa atau hubungan hukum. ( Abdulkadir Muhammad, 1990 : 129). Dasar pembuktian ini adalah Pasal 163 HIR/ 283 Rbg yang berbunyi, “ Barang siapa menyatakan mempunyai sesuatu hak atau mengemukakan suatu perbuatan untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain haruslah membuktikan adanya hak itu atau adanya perbuatan itu”. Dari bunyi Pasal tersebut diketahui bahwa pihak yang menyatakan bahwa ia mempunyai suatu hak, melakukan suatu perbuatan atau menerangkan adanya suatu peristiwa, ia harus membuktikan adanya hak itu, apabila disangka oleh pihak lawan. Dengan kata lain beban pembuktian dalam perkara perdata ada pada kedua belah pihak, baik penggugat maupun tergugat. Hukum pembuktian dalam perkara perdata merupakan sebagian dari hukum acara perdata. Hukum pembuktian hanya berlaku dalam perkara yang mengadili suatu sengketa dengan jalan memeriksa para pihak dalam sengketa tersebut.
Dalam proses beracara perdata, tentu melewati tahap-tahap sebagaimana yang telah digariskan di dalam HIR/RBg. Dari bebagai rangkaian proses tersebut ada yang sangat vital yang dapat menentukan kalah atau menangnya para pihak, yaitu pembuktian. Pembuktian ini adalah memberikan keterangan kepada hakim akan kebenaran peristiwa yang menjadi dasar guagatan/ bantahan dengan alat-alat bukti yang tersedia.
Perlu diperhatikan lagi bahwasanya Hukum pembuktian dalam hukum acara perdata menduduki tempat yang amat penting. Secara formal, hukum pembuktian mengatur cara bagaimana mengadakan pembuktian seperti terdapat di dalam HIR/ Rbg. Hukum pembuktian secara yuridis, mengajukan fakta-fakta menurut hukum yang cukup untuk memberikan kepastian kepada hakim tentang suatu peristiwa atau hubungan hukum. ( Abdulkadir Muhammad, 1990 : 129). Dasar pembuktian ini adalah Pasal 163 HIR/ 283 Rbg yang berbunyi, “ Barang siapa menyatakan mempunyai sesuatu hak atau mengemukakan suatu perbuatan untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain haruslah membuktikan adanya hak itu atau adanya perbuatan itu”. Dari bunyi Pasal tersebut diketahui bahwa pihak yang menyatakan bahwa ia mempunyai suatu hak, melakukan suatu perbuatan atau menerangkan adanya suatu peristiwa, ia harus membuktikan adanya hak itu, apabila disangka oleh pihak lawan. Dengan kata lain beban pembuktian dalam perkara perdata ada pada kedua belah pihak, baik penggugat maupun tergugat.
B.     Sifat Pembuktian.
Dalam ilmu pengetahuan terdapat beberapa teori tentang beban pembuktian yang menjadi pedoman bagi hakim, antara lain[2]:
a.   Teori pembuktian yang bersifat menguatkan belaka (bloot affirmatief)
Menurut teori ini siapa yang mengemukakan sesuatu harus membuktikannya dan bukan yang mengingkari atau yang menyangkalnya. Teori ini telah ditinggalkan.
b.  Teori hukum subyektif
Menurut teori ini suatu proses perdata itu selalu merupakan pelaksanaan hukum subyektif atau bertujuan mempertahankan hukum subyektif, dan siapa yang mengemukakan atau mempunyai suatu hak harus membuktikannya.

c.   Teori hukum obyektif
Menurut teori ini, mengajukan gugatan hak atau gugatan berarti bahwa penggugat minta kepada hakim agar hakim menerapkan ketentuan-ketentuan hukum obyektif terhadap pristiwa yang diajukan. Oleh karena itu penggugat harus membuktikan kebenaran daripada peristiwa yang diajukan dan kemudian mencari hukum obyektifnya untuk diterapkan pada peristiwa itu.
d.  Teori hukum public
Menurut teori ini maka mencari kebenaran suatu pristiwa dalam peradilan merupakan kepentingan publik. Oleh karena itu hakim harus diberi wewenang yang lebih besar untuk mencari kebenaran. Disamping itu para pihak ada kewajiban yang sifatnya hukum publik, untuk membuktikan dengan segala macam alat bukti. Kewajiban ini harus disertai sanksi pidana.
e.   Teori hukum acara
Asas audi etalteram partem atau juga asas kedudukkan prosesuil yang sama daripada para pihak dimuka hakim merupakan asas pembagian beban pembuktian menurut teori ini. Hakim harus membagi beban pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukkan para pihak, sehingga kemungkinan menang antara para pihak adalah sama.
C.    Teori Pembuktian
a.      Ada 3 (tiga) teori tentang pembuktian diantaranya:
1.      Teori hukum subyektif ( teori hak )
Dalam teori ini menetapkan bahwa barang siapa yang mengaku atau mengemukakan suatu hak maka yang bersangkutan harus membuktikannya.
2.      Teori hukum Obyektif
Teori ini mngejarkan bahwa seorang hakim harus melaksanakan peraturan hukum ayas fakta-fakta untuk menemukan kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya.
3.      Teori hukum acara dan teori kelayakan
Kedua teori ini bermuara pada hasil yang sama, yakni hakim seyogyanya berdasarkan kepatutan membagi beban pembuktian.
Hukum pembuktian secara formil mengatur bagaimana mengadakan pembuktian seperti yang terdapat dalam HIR/ Rbg, sedangkan dalam arti materiil mengatur dapat tidaknya diterima pembuktian dengan alat-alat ukti tertentu di persidangan serta kekuatan pembuktian dari bukti itu. Di sini, hal yang perlu dinuktikan hanyalah hal yang dibantah oleh pihak lawan saja. Hal-hal yang tidak perlu dibuktikan antara lain sebagai berikut :
1.      Notoire feiten, yakni fakta/keadaan yang diperkirakan sudah diketahui oleh umum.
2.      Pengakuan , yaitu bila tergugat mengakui apa yang digugat oleh penggugat
3.      Processueele, yaitu fakta-fakta yang ditemukan hakim di muka sidang.
b.      Teori-Teori Tentang Penilaian Pembuktian
Sekalipun untuk peristiwa yang disengketakan itu telah diajukan pembuktian, namun pembuktian itu masih harus dinilai. Berhubung dengan menilai pembuktian, hakim dapat bertindak bebas [contoh: hakim tidak wajib mempercayai satu orang saksi saja, yang berarti hakim bebas menilai kesaksiannya (ps. 1782 HIR, 309 Rbg, 1908 BW)] atau diikat oleh undang-undang [contoh: terhadap akta yang merupakan alat bukti tertulis, hakim terikat dalam penilaiannya (ps. 165 HIR, 285 Rbg, 1870 BW)]. Terdapat 3 (tiga) teori yang menjelaskan tentang sampai berapa jauhkah hukum positif dapat mengikat hakim atau para pihak dalam pembuktian peristiwa didalam sidang, yaitu[3]:


1.      Teori Pembuktian Bebas
Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga penilaian pembuktian seberapa dapat diserahkan kepada hakim. Teori ini dikehendaki jumhur/pendapat umum karena akan memberikan kelonggaran wewenang kepada hakim dalam mencari kebenaran.
2.      Teori Pembuktian Negatif
Teori ini hanya menghendaki ketentuan-ketentuan yang mengatur larangan-larangan kepada hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Jadi hakim disini dilarang dengan pengecualian (ps. 169 HIR, 306 Rbg, 1905 BW)
3.      Teori Pembuktian Positif
Disamping adanya larangan, teori ini menghendaki adanya perintah kepada hakim. Disini hakim diwajibkan, tetapi dengan syarat (ps. 165HIR, 285Rbg, 1870BW).
4.      Teori-Teori Tentang Beban Pembuktian
Seperti telah diuraikan sekilas diatas (dalam sub judul prinsip-prinsip pembuktian), maka pembuktian dilakukan oleh para pihak bukan oleh hakim. Hakimlah yang memerintahkan kepada para pihak untuk mengajukan alat-alat buktinya.
D.    Alat - alat Pembuktian.
Menurut undang-undang, ada 5 (lima) macam alat pembuktian yang sah, yaitu[4] :
1.      Surat-surat
2.      Kesaksian
3.      Persangkaan
4.      Pengakuan
5.      Sumpah
Berikut ini akan kami uraikan secara ringkas tentang alat-alat bukti tersebut;
1.      Surat - Surat
Menurut undang-undang, surat-surat dapat dibagi dalam surat-surat akte dan surat-surat lain. Surat akte ialah suatu tulisan yang semata-mata dibuat untuk membuktikan sesuatu hal atau peristiwa, karenanya suatu akte harus selalu ditanda tangani. Surat-surat akte dapat dibagi lagi atas akte resmi (authentiek) dan surat-surat akte di bawah tangan (onderhands). Suatu akte resmi (authentiek) ialah suatu akte yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum yang menurut undang-undang ditugaskan untuk membuat surat-surat akte tesebut. Pejabat umum yang dimaksud adalah notaris, hakim, jurusita pada suatu pengadilan, Pegawai Pencatatan Sipil (Ambtenaar Burgelijke Stand), dsb.
Menurut undang-undang suatu akte resmi (authentiek) mempunyai suatu kekuatan pembuktian sempurna (volledig bewijs), artinya apabila suatu pihak mengajukan suatu akte resmi, hakim harus menerimanya dan menganggap apa yang dituliskan didalam akte itu, sungguh-sungguh telah terjadi, sehingga hakim tidak boleh memerintahkan penambahan pembuktian lagi.
Suatu akte di bawah tangan (onderhands) ialah tiap akte yang tidak dibuat oleh atau dengan perantara seorang pejabat umum. Misalnya, surat perjanjian jual-beli atau sewa menyewa yang dibuat sendiri dan ditandatangani sendiri oleh kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian itu. Jika pihak yang menandatangani surat perjanjian itu mengakui atau tidak menyangkal tandatangannya, yang berarti ia mengakui atau tidak menyangkal kebenaran apa yang tertulis dalam surat perjanjian itu, maka akte dibawah tangan tersebut memperoleh suatu kekuatan pembuktian yang sama dengan suatu akte resmi. Akan tetapi jika tanda tangan itu disangkal, maka pihak yang mengajukan surat perjanjian tersebut diwajibkan untuk membuktikan kebenaran penandatanganan atau isi akte tersebut. Ini adalah suatu hal yang sebaliknya dari apa yang berlaku terhadap suatu akte resmi. Barang siapa menyangkal tanda tangannya pada suatu akte resmi, diwajibkan membuktikan bahwa tanda tangan itu palsu, dengan kata lain, pejabat umum (notaris) yang membuat akte tersebut telah melakukan pemalsuan surat. Berbagai tulisan-tulisan lain, artinya tulisan yang bukan akte seperti surat, faktur, catatan yang dibuat oleh suatu pihak, dsb. Yang kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim, hakim leluasa untuk mempercayai atau tidak mempercayai kebenarannya.
2.      Kesaksian.
Sesudah pembuktian dengan tulisan, pembuktian dengan kesaksian merupakan cara pembuktian yang terpenting dalam perkara yang sedang diperiksa didepan hakim. Suatu kesaksian, harus mengenai peristiwa-peristiwa yang dilihat dengan mata sendiri atau yang dialami sendiri oleh seorang saksi. Jadi tidak boleh saksi itu hanya mendengar saja tentang adanya peristiwa dari orang lain. Selanjutnya tidak boleh pula keterangan saksi itu merupakan kesimpulan-kesimpulan yang ditariknya dari peristiwa yang dilihat atau dialaminya, karena hakimlah yang berhak menarik kesimpulan-kesimpulan itu.
Kesaksian bukanlah suatu alat pembuktian yang sempurna dan mengikat hakim, tetapi terserah pada hakim untuk menerimanya atau tidak. Artinya, hakim leluasa untuk mempercayai atau tidak mempercayai keterangan seorang saksi. Seorang saksi yang sangat rapat hubungan kekeluargaan dengan pihak yang berperkara, dapat ditolak oleh pihak lawan, sedangkan saksi itu sendiri dapat meminta dibebaskan dari kewajibannya untuk memberikan kesaksian.Selanjutnya, undang-undang menetapkan bahwa keterangan satu saksi tidak cukup. Artinya, hakim tidak boleh mendasarkan putusan tentang kalah menangnya suatu pihak atas keterangannya satu saksi saja. Jadi kesaksian itu selalu harus ditambah dengan suatu alat pembuktian lain.
3.      Persangkaan
Persangkan ialah suatu kesimpulan yang diambil dari suatu peristiwa yang sudah terang dan nyata. Dari peristiwa yang terang dan nyata ini ditarik kesimpulan bahwa suatu peristiwa lain yang dibuktikan juga telah terjadi.
Dalam pembuktian, ada dua macam persangkaan, ada persangkaan yang ditetapkan oleh undang-undang sendiri (watterlijk vermoeden) dan persangkaan yang ditetapkan oleh hakim (rechtelijk vermoeden). Persangkaan yang ditetapkan oleh undang-undang (watterlijk vermoeden), pada hakekatnya merupakan suatu pembebasan dari kewajiban membuktikan suatu hal untuk keuntungan salah satu pihak yang berperkara. Misalnya, adanya tiga kwitansi pembayaran sewa rumah yang berturut-turut. Menurut UU menimbulkan suatu persangkaan, bahwa uang sewa untuk waktu yang sebelumnya juga telah dibayar olehnya. Persangkaan yang ditetapkan oleh hakim (rechtelijk vermoeden), terdapat pada pemeriksaan suatu perkara dimana tidak terdapat saksi-saksi yang dengan mata kepalanya sendiri telah melihat peristiwa itu. Misalnya, dalam suatu perkara dimana seorang suami mendakwa istrinya berbuat zina dengan lelaki lain. Hal ini tentunya sangat sukar memperoleh saksi-saksi yang melihat dengan mata kepalanya sendiri perbuatan zina itu. Akan tetapi, jika ada saksi-saksi yang melihat si istri itu menginap dalan satu kamar dengan seorang lelaki sedangkan didalam kamar tersebut hanya ada satu buah tempat tidur saja, maka dari keterangan saksi-saksi itu hakim dapat menetapkan suatu persangkaan bahwa kedua orang itu sudah melakukan perbuatan zina. Dan memang dalam perbuatan zina itu lazimnya hanya dapat dibuktikan dengan persangkaan.
4.      Pengakuan
Sebenarnya pengakuan bukan suatu alat pembuktian, karena jika suatu pihak mengakui sesuatu hal, maka pihak lawan dibebaskan untuk membuktikan hak tersebut, sehingga tidak dapat dikatakan pihak lawan ini telah membuktikan hal tersebut. Sebab pemeriksaan didepan hakim belum sampai pada tingkat pembuktian.
Menurut undang-undang, suatu pengakuan di depan hakim, merupakan suatu pembuktian yang sempurna tentang kebenaran hal atau peristiwa yang diakui. Ini berarti, hakim terpaksa untuk menerima dan menganggap, suatu peristiwa yang telah diakui memang benar-benar telah terjadi, meskipun sebetulnya ia sendiri tidak percaya bahwa peristiwa itu sungguh-sungguh telah terjadi. Adakalanya, seorang tergugat dalam suatu perkara perdata mengakui suatu peristiwa yang diajukan oleh penggugat, tetapi sebagai pembelaan mengajukan suatu peristiwa lain yang menghapuskan dasar tuntutan. Misalnya, ia mengakui adanya perjanjian jual beli, tetapi mengajukan bahwa ia sudah membayar harganya barang yang telah ia terima dari penggugat.
Menurut UU suatu pengakuan yang demikian, oleh hakim tidak boleh dipecah-pecah hingga merugian kedudukkan pihak tergugat didalam proses yang telah berlangsung itu. Dengan kata lain, suatu pengakuan yang disertai suatu peristiwa pembebasan oleh UU tidak dianggap sebagai suatu pengakuan (onplitsbare bekentenis). Jadi dalam praktek, si penjual barang masih harus membuktikan adanya perjanjian jual beli dan terjadinya penyerahan barang yang telah dibelinya itu pada si pembeli. Perlu diterangkan, bahwa dalam suatu hal UU melarang dipakai pengakuan sebagai alat pembuktian dalam suatu proses, yaitu dalam suatu perkara yang diajukan oleh seorang istri terhadap suaminya untuk mendapatkan pemisahan kekayaan.
5.      Sumpah
Menurut UU ada dua macam bentuk sumpah, yaitu sumpah yang ”menentukan” (decissoire eed) dan ”tambahan” (supletoir eed).
Sumpah yang ”menentukan” (decissoire eed) adalah sumpah yang diperintahkan oleh salah satu pihak yang berperkara kepada pihak lawan dengan maksud untuk mengakhiri perkara yang sedang diperiksa oleh hakim. Jika pihak lawan mengangkat sumpah yang perumusannya disusun sendiri oleh pihak yang memerintahkan pengangkatan sumpah itu, ia akan dimenangkan, sebaliknya, jika ia tidak berani dan menolak pengangkatan sumpah itu, ia akan dikalahkan. Pihak yang diperintahkan mengangkat sumpah, mempunyai hak untuk ”mengembalikan” perintah itu, artinya meminta kepada pihak lawannya sendiri mengangkat sumpah itu. Tentu saja perumusan sumpah yang dikembalikan itu sebaliknya dari perumusan semula. Misalnya, jika rumusan yang semula berbunyi : ”Saya bersumpah bahwa sungguh-sungguh Saya telah menyerahkan barang” perumusan sumpah yang dikembalikan akan berbunyi ”Saya bersumpah bahwa sungguh-sungguh Saya tidak menerima barang”. Jika sumpah dikembalikan, maka pihak yang semula memerintahkan pengangkatan sumpah itu, akan dimenangkan oleh hakim apabila ia mengangkat sumpah itu. Sebaliknya ia akan dikalahkan apabila dia menolak pengangkatan sumpah itu. Jika suatu pihak yang berperkara hendak memerintahkan pengangkatan suatu sumpah yang menentukan, hakim harus mempertimbangkan dahulu apakah ia dapat mengizinkan perintah mengangkat sumpah itu. Untuk itu hakim memeriksa apakah hal yang disebutkan dalam perumusan sumpah itu sungguh-sungguh mengenai suatu perbuatan yang telah dilakukan sendiri oleh pihak yang mengangkat sumpah atau suatu peristiwa yang telah dilihat sendiri oleh pihak itu. Selanjutnya harus dipertimbangkan apakah sungguh-sungguh dengan terbuktinya hal yang disumpahkan itu nanti perselisihan antara kedua pihak yang berperkara itu dapat diakhiri, sehingga dapat dikatakan bahwa sumpah itu sungguh-sungguh ”menentukan” jalannya perkara.
Suatu sumpah tambahan, adalah suatu sumpah yang diperintahkan oleh hakim pada salah satu pihak yang beperkara apabila hakim itu barpendapat bahwa didalam suatu perkara sudah terdapat suatu ”permulaan pembuktian”, yang perlu ditambah dengan penyumpahan, karena dipandang kurang memuaskan untuk menjatuhkan putusan atas dasar bukti-bukti yang terdapat itu. Hakim, leluasa apakah ia akan memerintahkan suatu sumpah tambahan atau tidak dan apakah suatu hal sudah merupakan permulaan pembuktian.
Pihak yang mendapat perintah untuk mengangkat suatu sumpah tambahan, hanya dapat mengangkat atau menolak sumpah itu. Tetapi ia tak dapat ”mengembalikan” sumpah tersebut kepada pihak lawan. Sebenarnya, terhadap sumpah tambahan ini pun dapat dikatakan, bahwa ia menentukan juga jalannya perkara, sehingga perbedaan sebenarnya dengan suatu sumpah decissoir ialah, bahwa yang belakangan diperintahkan oleh suatu pihak yang beperkara kepada pihak lawannya, sedangkan sumpah tambahan diperintahkan oleh hakim karena jabatannya, jadi atas kehendak hakim itu sendiri.
E.     Daluarsa.
Pengertian Daluarsa Dalam KUH Perdata pasal 1946 Daluarsa adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau membebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan dalam UU[5].
Ada dua macam Daluarsa atau Verjaring :
1. Acquisitieve Verjaring
Acquisitieve Verjaring Adalah lampau waktu yang menimbulkan hak. Syarat adanya kedaluarsa ini harus ada itikad baik dari pihak yang menguasai benda tersebut.
Pasal 1963 KUH Perdata: Pasal 2000 NBW [6].
“ Siapa yang dengan itikad baik, dan berdasarkan suatu alas hak yang sah, memperoleh suatu benda tak bergerak, suatu bunga, atau suatu piutang lain yang tidak harus dibayar atas tunjuk, memperoleh hak milik atasnya dengan jalan daluarsa , dengan suatu penguasaan selama dua puluh tahun “. Dan “ Siapa yang dengan itikad baik menguasainya selama tiga puluh tahun, memperoleh hak milik dengan tidak dapat dipaksa untuk mempertunjukkan alas haknya”.
Seorang bezitter yang jujur atas suatu benda yang tidak bergerak lama kelamaan dapat memperoleh hak milik atas benda tersebut. Dan apabila ia bisa menunjukkan suatu title yang sah, maka dengan daluarsa dua puluh tahun sejak mulai menguasai benda tersebut.
Misalnya: Nisa menguasai tanah perkarangan tanpa adanya title yang sah selama 30 tahun. Selama waktu itu tidak ada gangguan dari pihak ketiga, maka demi hukum, tanah pekarangan itu menjadi miliknya dan tanpa dipertanyakannya alas hukum tersebut.
2. Extinctieve Verjaring
Extinctieve Verjaring Adalah lampau waktu lampau yang melenyapakan atau membebaskan terhadap tagihan atau kewajibannya.
Misalnya: Dheya telah meminjam uang kepada Syamsul sebesar Rp.10.000.000,00 . Dalam jangka waktu 30 tahun, uang itu tidak ditagih oleh Syamsul, maka berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, maka Dheya dibebaskan untuk membayar utangnya kepada Syamsul.
Tujuan Lembaga Daluarsa :
1.Untuk melindungi kepentingan masyarakat.
2.Untuk melindungi si berutang dengan jalan mengamankannya terhadap tututan yang sudah kuno.
Pelepasan Daluarsa dibagi menjadi 2, yaitu:

1.      Dilakukan secara Tegas
Seseorang yang melakukan perikatan tidak diperkenankan melepaskan Daluarsa sebelum tiba waktunya, namun apabila ia telah memenuhi syarat-syarat yang ditentuka dan waktu yang telah ditentukan pula, maka ia berhak melepaskan Daluarsanya.
2.      Dilakukan secara Diam-diam
Pelepasan yang dilakukan secara diam-diam ini terjadi karena si pemegang Daluarsa tidak ingin mempergunakan haknya dalam sebuah perikatan. Apabila kita dalam perikatan jual beli tidak diperkenankan memindah tangankan barang kepada orang lain, maka secara otomatis Daluarsa tidak dapat kita lepaskan, karena sudah ada persyaratan untuk melepaskannya serta waktu yang sudah ditetapkan oleh kedua belah pihak.
IV. KESIMPULAN
Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa macam-macam alat bukti dalam hukum acara perdata itu ada 6 yaitu:Bukti tertulis/surat, Bukti dengan saksi,Persangkaan, Pengakuan, Sumpah. Dan dalam hokum pembuktian juga ada beberapa yang mengharuskan hakim ketika menerima, memeriksa dan mengadili menyelesaikan perkara setiap perkara melihat toeri-teori pembuktian.
Hukum pembuktian merupakan salah satu bagian dari beberapa materi yang ada pada hukum acara. Dalam hal ini, terdapat berbagai macam pula hukum acara yang dianut oleh negara kita. Di antaranya adalah Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Tata Usaha Negara. Dengan adanya beberapa jenis hukum acara yang berbeda-beda tersebut tentu hukum pembuktian mempunyai spesifikasi dan karektiristik tersendiri dalam bidang hukum masing-masing. Mulai dari dasar hukum pembuktian, sistem dan teorinya, kepada siapa beban pembuktian diberikan dan bagaimana hakim pada masing-masing bidang hukum tersebut menilai alat-alat bukti yang diajukan. Dalam pembuktian juga membahas terkait dengan Daluarsa Dalam KUH Perdata pasal 1946 Daluarsa yang merupakan suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau membebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan dalam UU.

V.    PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya. Apabila ada kesalahan dari segi isi maupun dalam penulisan, itu merupakan kelemahan serta kekurangan kami sebagai insan biasa




















DAFTAR PUSTAKA
Arief , M. Isa. Pembuktian dan Daluarsa. Jakarta: PT. Intermasa. 1986.

Sulistini, Elise T, Petunjuk Praktis Menyelesaikan Perkara-Perkara Perdata, Jakarta, Bina Aksara, Cetakan kedua 1987.

Subekti, R, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: P.T. Intermasa, Cet. XXXII, 2005.
Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia Edisi Ke 7,Yogyakarta: Liberty, Cet. I, 2006.

R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: P.T. Pradnya Paramita, Cet. XXV, 2005.




[1] R Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: P.T. Intermasa, 2005, Cet. XXXII, Hal. 176
[3] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia Edisi Ke 7, (Yogyakarta: Liberty, 2006), Cet. I, Hal. 141.
[4] Elise T. Sulistini, Petunjuk Praktis Menyelesaikan Perkara-Perkara Perdata, Jakarta, Bina Aksara, Cetakan kedua 1987. hal 32.

[5] M. Isa Arief. Pembuktian dan Daluarsa. Jakarta: PT. Intermasa. 1986.
[6] R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: P.T. Pradnya Paramita, 2005, Cet. XXV.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar