Kamis, 14 April 2011

MAHKAMAH SYARI’AH_abdul.com


MAHKAMAH SYARI’AH

I.        PENDAHULUAN
Kehadiran peradilan agama dari masa kemasa merupakan kebutuhan nyata yang menyatu sebagai tatanan kehidupan ummat islam. dengan bahasa sosiologis, peradilan agama telah lama hidup sebagai tatanan social ummat islam. dengan bahasa budaya, dapat di sebutkan, kehadiran peradilan agama telah menjadi salah satu corak budaya masyarakat Indonesia yang sebagian besar beragama Indonesia.[1]
Peradilan syari’ah yang baru terdapat di nangroe aceh Darussalam selain menjalankan wewenang peradilan agama juga menjalankan wewenang dibidang kepidanaan tertentu. meskipun hingga saat ini wewenang kepidanaan masih dibatasi pada penegakan ketentuan pidana dalam qanun (peraturan daerah). penbatasan pada penegakan ketentuan pidana dalam qanun ini didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan:
1.      untuk menghindari dualisme penegakan hukum pidana antara pengadilan negeri dan peradilan syari’ah.
2.      memerlukan waktu mempersiapkan sumber daya manusia yang berpengetahuan cukup dan trampil dibidang hukum pidana.
3.      sampai waktu yang cukup, penegakan hukum pidana oleh peradilan syari’ah diharapkan lebih bersifat meluaskan syi’ar dari pada hukum itu sendiri.

II.     DESKRIPSI MASALAH
Peradilan agama merupakan satu kesatuan system peradilan nasional (national integrated judicial system), dalam system kenegaraan Negara kesatuan republic Indonesia. perluasan yurisdiksi peradilan agama yang telah ada dan dijalankan bersamaan dengan masuknya islam di Indonesia, dimana peradilan ini dijalalankan untuk melaksanakan syari’at islam yang pada saat itu bukan nama “peradilan agama” yang menjadi identitas,melainkan kompetisi peradilan untuk melaksanakan syari’at islam. dengan system peradilan nasional yang tidak menganut satu paham ketentuan, maka perlu diperjelas ketentuan dan kewenangan terkait diberlakunya mahkamah syari’ah di nangroe aceh Darussalam.

III.  PEMBAHASAN
  1. Latar belakang dan dasar ketentuan Mahkamah Syari’ah
UU No: 18 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi provinsi daerah istimewa aceh sebagai pr\ovinsi nangroe aceh Darussalam (selanjutnya UU PNAD) membawa perkembangan baru di aceh dalam system peradilan di Indonesia. pasal 25-26 UU PNAD mengatur mengenai mahkamah syari’ah NAD yang merupakan peradilan syari’at islam sebagai bagian dari system peradilan nasional.mahkamah syari’ah adalah lembaga peradilan yang bebas dari pengaruh pihak manapun dalam wilayah PNAD yang berlaku untuk pemeluk agama islam.kewenangan mahkamah syari’ah selanjutnya di atur lebih lanjut dengan qonun PNAD. qonon PNAD adalah peraturan daerah sebagai pelaksanaan dari wewenang yang diberikan oleh UU No. 18 tahun 2001 untuk mengatur daerah dan mahkamah agung berwenang melakukan uji materiil terhadap qonun.[2]
mahkamah syari’ah tersebut terdiri dari:
1.      Mahkamah syari’ah kabupaten/sagoe dan kota/banda sebagai pengadilan tingkat pertama.
2.      Mahkamah syari’ah provinsi sebagai pengadilan tingkat banding yang berada di ibukota provinsi, yaitu di banda aceh.
Sementara untuk tingkat kasasi tetap dilakukan di mahkamah agung sebagai peradilan Negara tertinggi. hal ini di sebutkan dalam pasal 24A UUD NRI 1945, yaitu mahkamah agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang undangan di bawah undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
Wewenang yang di berikan pemerintah pusat kepada NAD dalam hal memberlakukan otonomi khusus sedikit banyak telah merubah pola hidup pemerintahan yang berlangsung di daerah tersebut. mulai dari pembagian hak dan kewajiban antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat dan sebagainya, bahkan dalam pemerintah aceh sudah mulai terdapat mahkamah syari’ah yang berfungsi sebagai tempat untuk menjalankan hukum yang berbasiskan pada hukum islam. artinya beberapa kebijakan sudah tidak lagi mengacu pada aturan-aturan hukum pemerintah.[3]
Sebagai satu contoh bahwa dalam mahkamah syari’ah telah menghasilkan produk hukum yang mengatur tentang tindak pidana hukum islam atau lebih sering dikenal dengan istilah qonun dimana sebenarnya kompetensi qonun dalam mengatur kehidupan masyarakat yang sangat luas masih terbilang masih jauh dari sempurna. bisa dilihat bahwa selama ini qonun yang digunakan hanya beberapa qonun yang dihadapi masyarakat, seperti korupsi, tidak pernah terjangkau oleh ketentuan syari’ah. lumprah jika kemudian sebagian kalangan menilai dengan sebelah mata atas pelaksanaan syari’at Islam di Aceh.[4]
Oleh karena itu, ini menjadi permasalahan untuk keberlangsungan eksistensi aturan hukum yang berlaki di Indonesia. satu sisi dikatakan bahwa dalam pelaksanaan hukum, terutama hukum pidana selalu diterapkan unifikasi hukum pidana. artinya dalam mempraktekkan hukum pidana tidak boleh diatur dengan kesepakatan tiap-tiap daerah, tetapi harus mengacu pada ketetapan yang dilakukan dan telah dilaksanakan oleh pemerintah dalam membentuk hukum pidana. tapi dalam system pemerintah aceh, pelaksanaan hukum pidana dilaksanakan berdasarkan pada ketentuan yang dibuat oleh mahkamah syari’ah. lebih lanjut lagi berarti dalam pemerintah aceh tidak mempraktekkan unifikasi hukum pidana. praktek menggunakan hukum sendiri tersebut berdasarkan UU No. 11 tahun 2006 yang memberikan keleluasaan kepada aceh untuk membuat qonun yang mengatur pelaksanaan syari’at islam. bahkan khusus untuk pidana (jinayah), sanksi yang diatur dalam qanun boleh berbeda dengan batasan untuk peraturan daerah umum lainnya. selain itu, ada ketentuan bahwa qanun syariat islam hanya dapat dibatalkan melalui uji materi oleh mahkamah agung.
  1. Tentang kewenangan mahkamah syari’ah
Kehadiran mahkamah syari’ah sebagai peradilan islam di aceh telah menjadi ujung tombak pembaharuan system peradilan di Indonesia. sebagaimana termuat dalam pasal 15 UU No. 4/2002 mahkamah ini merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama dan umum.
Dalam pembentukan mahkamah syari’ah maka seluruh lembaga pengadilan agama di NAD berubah. pengadilan tinggi agama pada tingkat provinsi akan berubah menjadi mahkamah syari’ah provinsi, sedangkan 19 pengadilan agama tingkat kabupaten dan kota madya berubah menjadi mahkamah syari’ah. peraturan hukum syari’ah atau qanun akan berlaku di aceh untuk hal-hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan  mahkamah syari’ah.[5]
Ketentuan hukumnya pun tidak lagi menggunakan kitab undang-undang hukum pidana (KUHAP) serta KUHAP (kitab undang-undang hukum acara pidana), melainkan menggunakan aturan pelaksanaan tersendiri yang di tuangkan dalam qanun. qanun, tandasnya, merupakan perangkat kaidah dan perangkat norma dari pelaksanaan syari’ah islam.
Kewenangan mahkamah sebagai peradilan syari’ah islam diatur melalui qanun (semacam perda) peradilan syari’ah islam No. 10/2002 dan sekaligus merupakan suatu peraturan pelaksanaan yang bersifat lex spesialis sesuai UU No. 18/2001 tentang otonomi khusus provinsi Daerah Istimewa Aceh[6].
Ada dua hal yang mengilhami lahirnya mahkamah syari’ah di daerah yang berlaku syari’ah islam itu. pertama upaya merekonstruksi hukum yang bersendi hukum islam. kedua, menghidupkan kembali pepatah aceh. “adapt bak poteu meureuhom. hukom bak syiah kuala. qonun bak putroe phang, reusam bak laksamana.”
Sedangkan dua tugas pokok dan fungsi mahkamah ini:
1.      Bidang Yustisial
Bidang yutisial, menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang islam di bidang al-ahwal al-syahsiyah (hukum keluarga), muamalah (perdata) dan jinayah (pidana).
Perkara bidaang al-ahwal al-syahsiyah meliputa masalah perkawinan perkawinan, kewarisan, dan wasiat. bidang muamalah antaranya meliputi masalah jual beli, utang piutang qiradh (permodalan), bagi hasil, pinjam meminjam, perkongsian, wakilah, penyitaan, gadai, sewa-menyewa, perburuhan.
Perkara jinayah ada tiga, yaitu hudud, qishas dan ta’zir. hudud meliputi masalah zina dan menuduh berzina (qadhaf), mencuri dan merampok, minuman keras dan napza, murtad. qishas meliputi masalah pembunuhan dan penganiayaan. ta’zir meliputi masalah judi, penipuan, pemalsuan, khalwat serta meninggalkan salat dan puasa.
2.      Bidang Non Yustisial.
Meliputi pengawasan jalannya mahkamah syari’ah, hisab dan rukyat, menyaksikan pengangkatan gubernur/wakil gubernur dan bupati/wakil bupati serta memberi nasihat dan pertimbangan hukum bagi lembaga pemerintah yang memerlukan (bila diminta).
Ada lima qanun yang mendukung pelaksanaan kewenangan mahkamah syari’ah yang memuat hukum materil dan hukum formil. sebab itu, tidak semua kasus bisa ditangani mahkamah syari’ah. hanya kasus-kasus yang sudah diatur dengan qanun, yaitu dalam lima qanun itu. yaitu: (1). qanun No. II/2002 tentang pelaksanaan syariat islam bidang aqidah, ibadah dan syiar islam. (2). qanun No. 12/2003 tentang minuman khamer dan sejenisnya. (3). qanun No. 13/2003 tentang maisir (judi). (4). qanun No. 14/2003 tentang khalwat (mesum) dan (5). qanun No. 7/2004 tentang pengelolaan zakat.
  1. Kelemahaan dan kelebihan penerapan Mahkamah Syari’ah di NAD
Pemberlakuan syari’ah islam di aceh mempunyai kelemahan yang tidak bisa dihindarkan, diantara adalah kedudukan wanita dan laki-laki yang dalam hukum positif nasional Indonesia dianggap sebagai subyek hukum yang sama rata dalam kedudukannya, tetapi dalam penerapan hukum islam di aceh, kedudukan mereka menjadi berbeda. melihat hal demikian, maka tidak sesuai antara tujuan awal pemberlakuan syari’ah islam yang “nasionalis”. dengan demikian, penerapan hukum yang antara kaum laki-laki dan perempuanpun juga berbeda[7].
Penerapan pemerintah yang berdasarkan syari’ah islam di aceh tidak mampu memberikan hukuman bagi manusia yang sedang bermukim di daerah tersebut. seperti contohnya, antara orang asli aceh dan orang asing, maka yang berlaku hukum islam hanya bagi orang aceh sedangkan hukuman bagi orang orang non aceh tidak diberlakukan hukum islam. seperti contohnya, kasus antara wardiana (orang aceh) dan Guessepe (non aceh). dalam kasusnya mereka berbuat zina dan menyepi serta meminum khamr. dalam qanun pemeritahan aceh, perbuatan mereka berdua telah melanggar qanun 14 tentang khalwat. lalu soal minuman keras dan ganja, dijerat dengan qanun 13. tapi hukum syari’ah hanya diberlakukan bagi wardiana, sementara untuk guessepe, akan di jerat dengan undang-undang anti narkotika No. 22 tahun 1997. hukum syari’ah tidak bisa menyentuhnya karena hanya mengatur mereka yang muslim dan WNI di Aceh.
Untuk menghukum perbuatan setiap pelanggaran yang terjadi di propinsi aceh, semuanya menggunakan dasar atas qanun. hal ini menggunakan dasar atas undang-undang keistimewaan aceh nomor 44 tahun 1999 dan undang-undang otonomi daerah nomor 18 tahun 2001. sedangkan stok qanun yang terdapat dalam pemerintahan aceh masih sangat terbatas. hal ini juga merupakn satu kelemahan dalam pemerintahan aceh dimana qanun yang ada belum cukup untuk mengatur semua perbuatan yang ada di aceh, mengingat perbuatan tersebut sangat kompleks sedangkan qanun sangat terbatas.
Tetapi salah satu hal positif adalah setidaknya keempat qanun tersebut telah dapat dipakai untuk mengubah perilaku warga aceh, dari perbuatan yang dianggap bertentangan dengan syari’at islam, seperti perjudian, mabuk-mabukan minuman keras sampai praktek pelacuran dan perzinaan. hukuman cambuk sebagai upaya penjeraan kepeda para pelanggarnya-pun telah pula diterapkan untuk dijadikan pelajaran[8].
Berdasarkan hal tersebut di atas, secara garis besar dapat di tarik pernyataan bahwa kelebihan dalam pemberlakuan syari’at islam di aceh adalah sebagai berikut:
1.      penerapannya di dukung oleh masyarakat sendiri sehingga status hukumnya penuh.
2.      hukum yang diterapkan berdasarkan al-quran yang mana tidak diragukan lagi kebenarannya.
3.      tidak ada kasus yang tidak diimbangi dengan asas keadidilan.
4.      bila ada kasus hukum, maka dapat melakukan ijtihad sesuai dengan syari’at yang berlaku.
5.      terdapat asa keadilan, sehingga pemberlakuannya dapat dipertanggung jawabkan karena terdapat kaitan langsung dengan hubungan vertical dengan Allah SWT.

IV.  PENUTUP
Demikian makalah ini kami susun, kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, kritik, saran serta perbaikan, dari pembaca sangat kami harapkan guna penyusunan makalah yang selanjutnya yang lebih baik. akhirnya mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat, Amin.
























DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Hanafi. Pengantar Dan Sejarah Hukum Islam. jakarta: PT Bulan Bintang, 1970.
                 
B. Restu Cipto Handoyo. Hukum Tata Negara Dan Hak Asasi Manusia. yogyakarta: Percetakan Universitas Atma Jaya, 2003.
                                         
Djoko sudantoko. Dilemma Otonomi Daerah. yogyakarta: Penerbit ANDI 2003.


Indonesia, Undang-Undang no. 18 tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Derah Istemewa Aceh Darussalam, lembaran Negara RI No. 114, tambahan lembaran Negara RI No. 4132.


Suparman Ustman. Hukum Islam, Asas-Asas Dan Penngantar Studi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001.




[1] Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1970, hlm. 50
[2] Indonesia, Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darusssalam,, Lembaran Negara RI No. 114, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4132, Pasal 1 Butir 7
[3] Djoko Sudantoko, Dilema Otonomi Daerah, Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2003, hlm. 33
[4] Ibid, hlm. 41
[5] Suparman ustman. hukum islam, asas-asas dan pengantar studyhukum  islam dalam tata hukum Indonesia. Jakarta: Gaya Media Pratama. 2001, Hal. 111.
  
[6] Lihat penjelasan umum UU PNAD. asas lex spesialis derogaat lex generalis mempunyai arti bahwa peraturan yang khusus mengenyampingkan yang umum. perlu dipikirkan kembali sejauh mana atau batasan-batasan dari suatu qanun sehingga dapat mengenyampingkan peraturan perundangan-undangan lain
[7] B. Restu Cipto Handoyo. Hukum Tata Negara Dan Hak Asasi Manusia. Yogyakarta. Percetakan Univ Atma Jaya. 2003. Hlm 169.

[8] Ibid. hlm 171-173.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar