Kamis, 14 April 2011

SHALAT KAUM WANITA BERJAMA’AH_abdul.com


SHALAT KAUM WANITA BERJAMA’AH
I         PENDAHULUAN
Pada umumnya para ulama’ membagi syarat-syarat shalat menjadi syarat-syarat sah dan syarat-syarat wajib shalat. Perbedaannya adalah bahwasanya syarat-syarat wajib adalah syarat-syarat yang apabila terpenuhi maka orang tersebut baik muslim maupun muslimah berkewajiban mengerjakan shalat. Adapun syarat-syarat sah adalah sesuatu atau syarat   yang harus ada hingga shalat tersebut menjadi sah bersamaan dengan kewajibannya. Dengan mengerjakan shalat, seorang muslim berhak mendapatkan perlindungan.
II      RUMUSAN MASALAH
A.    Siapakah yang berkewajiban mengerjakan shalat?
B.     Bagaimana hukum shalat berjamaah kaum wanita dengan imam wanita?
C.     Apa yang di perhatikan kaum wanita dalam malaksanakan shalat berjama’ah di masjid?
III   PEMBAHASAN
A.    Siapakah yang berkewajiban mengerjakan shalat
Syarat-syarat wajib mengerjakan shalat[1]:
1.      Muslim
2.      Berakal
Sebab akal merupakan poros taklif, sedang orang gila bukanlah orang yang berhak mendapatkan pentaklifan tersebut.
3.       Baligh atau dewasa
4.      Suci dari datang bulan dan nifas
Syarat ini khusus bagi kaum wanita, dimana seorang wanita tidak boleh dan tidak sah mengerjakan shalat pada masa-masa dating bulan dan nifas dan mereka tidak diharuskan mengqadha’ shalat-shalat yang telah ditinggalkannya dalam masa-masa tersebut. Hal ini berdasarkan hadits yang menyatakan bahwasanya rasulullah pernah berkata kepada fathimah binti hubaisy,Tinggalkanlah shalat selama masa-masa dating bulan kemudian mandi dan shalatlah.
 Dari keterangan di atas, jelaslah bahwasanya shalat tidak akan pernah gugur dari setiap muslim yang telah menginjak usia dewasa atau baligh,kecuali orang tersebut gila atau seorang wanita yang datang bulan ataupun nifas.
5.      Shalat berjama’ah kaum wanita dengan imam wanita
Para ulama’ berbeda pendapat mengenai diperbolehkannya berjamaah bagi kaum wanita dengan imam wanita; ada yang memperbolehkan ada juga yang melarangnya. Mayoritas ulama berpendapat bahwa boleh saja hal itu dilakukan. Pendapat ini berdasarkan sabda rasulullah yang memerintahkan ummu waraqoh untuk menjadi imam di rumahnya.
Namun begitu, ada beberapa ulama yang berpendapat bahwa hal itu tidak dianjurkan dan bahkan ada yang berpendapat bahwa hal itu makruh. Sedangkan sebagian yang lain mengambil jalan tengah,dengan mengatakan bahwa mereka boleh berjamaah dalam shalat  sunnah akan tetapi tidak boleh dalam shalat wajib. Saya katakan menurut pendapat yang paling kuat adalah dianjurkan.
Bagaimanapun juga, apabila kalian shalat berjamaah di belakang seorang imam wanita, maka hendaklah kalian memperhatikan hal-hal berikut:[2]
6.      Tidak ada adzan dan tidak ada iqomah
7.      Hendaklah mereka ini menutupi seluruh tubuh dan auratnya
8.      Memperpendek atau mempercepat shalat
9.      Apabila shalat tersebut dekat dengan kaum laki-laki, maka bagi wanita yang menjadi imam mereka tidak mengeraskan bacaannya dalam shalat yang memperbolehkan bacaan keras. Apabila mereka jauh dari kaum lelaki dan suaranya tidak terdengar sampai keluar maka boleh saja membaca dengan suara keras.
10.  Disunnahkan bagi wanita untuk menyatukan atau merapatkan anggota tubuhnya ketika rukuk dan sujud. Karena hal itu, nampak lebih tertutup.
11.  Imam asy-syafi’I dalam al-mukhtasarnya berkata,”tidak ada perbedaan antara kaum laki-laki dan wanita dalam gerakan shalat. Hanya saja wanita disunahkan untuk merapatkan anggota tubuhnya yang satu dengan yang lain atau merapatkan perutnya dengan kedua pahanya dalam sujud agar Nampak lebih tertutup. Begitu juga dalam ruku’ dan dalam semua gerakan shalat.
B.     Kehadiran kaum wanita dalam shalat berjama’ah di masjid
Shalat kaum wanita di rumahnya adalah lebih baik dari pada di masjid. Hanya saja boleh baginya untuk shalat di masjid. Kita tidak boleh melarang kaum wanita untuk shalat di masjid,terutama hal itu memberikan manfaat. Seperti menghadiri pengajian,belajar  fikih dan masalah-masalah agamanya.
Dari ibnu umar dari rasulullah ,beliau bersabda:

“apabila istri-istri kalian meminta izin untuk pergi ke masjid maka izinkanlah mereka”[3].
Dari aisyah, ia berkata rasulullah sering shalat subuh dan beliau banyak melihat kaum wanita yang hadir bersamanya. Mereka tertutup dengan pakaian mereka. Kemudian mereka pulang ke rumah masing-masing dan tidak seorangpun yang mengetahuinya[4].
Dari ibnu umar r.a, ia berkata “janganlah kalian melarang isteri-isteri kalian dating ke masjid dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.”
Apabila seorang wanita pergi ke masjid untuk shalat, maka hendaklah ia memperhatikan beberapa hal berikut ini:
1. Hendaklah tidak memakai wangi-wangian dan tidak pula dupa. Dari zainab ats-tsaqifah,ia berkata: bahwa ia pernah menceritakan sebuah hadits rasulullah bahwasanya beliau bersabda, “apabila salah seorang diantara kalian berjamaah isya’ maka janganlah ia memakai wewangian pada malam itu.
2. Hendaknya pakaiannya sesuai dengan aturan islam jauh dari sensual dan terbuka,serta segala penampilan yang mempertontonkan kecantikan dan daya tarik tubuhnya.
3. Tidak mengkonsumsi bawang merah maupun bawang putih dan segala jenis makanan yang mempunyai bau menyengat sebelum berangkat ke masjid.
 Apabila shalat telah didirikan maka sebisa mungkin kamu wahai saudariku  perhatikanlah hal-hal berikut:
Menjauhkan diri dari barisan pertama (di barisan kaum wanita) semaksimal mungkin dan usahakan berada di barisan belakang. Dari abu hurairah,ia berkata, rasulullah s.a.w bersabda “barisan shalat paling utama bagi kaum laki-laki adalah yang paling depan dan yang paling buruk adalah yang paling belakang. Sedangkan barisan shalat paling baik bagi kaum wanita adalah yang paling belakang dan yang paling buruk adalah yang paling depan.” Akan tetapi apabila dalam masjid terdapat tempat yang terpisah khusus untuk kaum wanita dan dalam bangunan sendiri, dimana kaum laki-laki tidak bisa melihat mereka dan mereka tidak bisa melihat laki-laki sebagaimana yang banyak terjadi pada beberapa masjid sekarang ini,maka barisan shalat terbaik bagi mereka adalah yang awal,kedua,ketiga dan seterusnya seperti laki-laki.
a) Hendaklah kamu tidak mengangkat kepalamu ketika bangun dari  sujud mendahului kaum laki-laki.
b) Apabila imam terlupa dan tidak seorangpun dari kaum laki-laki yang mengingatkannya, maka hendaklah mereka bertepuk tangan. Dari abu hurairah dari rasulullah bersabda,”membaca tasbih untuk kaum laki-laki dan bertepuk tangan untuk kaum wanita.”
c) Segera keluar dari masjid ketika imam telah mengucapkan salam sehingga tidak bercampur dengan kaum laki-laki ketika keluar. Dari ummu salamah, ia berkata apabila rasulullah telah mengucapkan salam, kaum wanita segera berdiri ketika beliau menyelesaikan salamnya dan berdiam diri sebentar sebelum berdiri.” Dalam kondisi seperti ini, kaum muslimin disunnahkan untuk membangun pintu khusus untuk kaum wanita di masjid,guna menghindari fitnah dan percampuran diantara mereka.”

IV   KESIMPULAN
Setiap orang muslim yang berakal, baligh atau dewasa serta suci dari datang bulan dan nifas (khusus bagi muslimah) diwajibkan mengerjakan shalat. Ada baiknya mengerjakan shalat dilaksanakan secara berjamaah. Sebab banyak pendapat dari ahli fikih mengatakan bahwa shalat berjamaah hukumnya wajib. Apabila shalat berjamaah hukumnya wajib bagi kaum laki-laki maka ia tidak wajib bagi kaum wanita , hanya saja boleh bagi kaum wanita untuk melaksanakan shalat berjamaah.
V      PENUTUP
Demikian makalah yang kami buat,tentunya kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak kesalahan dan kekurangan serta jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu, kritik dan saran yang membangun semangat kami harapkan guna perbaikan makalah yang akan datang. Harapan kami, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Amiiin.

DAFTAR PUSTAKA
Ø  Syaikh Ahmad Jad, Fikih Sunnah Wanita,(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,2008)
Ø  H. Sulaiman Rasjid,Fikh Islam (Bandung: PT. Sinar Baru Algensido,1994)
Ø  Kh. Miftahul Akhyar, Soal Jawab Fikh kemasyarakatan (Mojokerto: Lembaga Bahtsul Masail Lajnah Ta’lif Wa












[1] H. Sulaiman Rasjid,Fikh Islam (Bandung: PT. Sinar Baru Algensido,1994) hal 65-68

[2] Syaikh Ahmad Jad, Fikih Sunnah Wanita,(Jakarta: Pustaka al-Kautsar,2008) hal 106-108

[3] Syaikh Ahmad Jad, ibid hal 107
[4] KH. Miftahul akhyar, Soal Jawab Fikh Kemasyarakatan (Mojokerto: Lembaga Bahtsul Masail Lajnah Ta’lif Wa Nasyr,2007)hal 204


Tidak ada komentar:

Posting Komentar