Kamis, 14 April 2011

TENTANG KHAMR_abdul.com


Pendahuluan
Telah diketahui sejak awal bahwa minuman keras (khamar) diharamkan oleh Allah SWT. Karena dari khamar tersebut banyak sekali menimbulkan madharat dari pada manfaat. Pertama, Allah melarang shalat dalam keadaan mabuk (meminum khamar). Kedua, karena dengan larangan itu masih banyak yang mengonsumsi sehingga terjadi keributan dan perkelahian, maka larangan  meminum khamar dipertegas sehingga diharamkan meminum walaupun sedikit.
Orang yang meminum khamar mendapatkan sanksi yang sangat tegas. Dia mendapatkan hukuman had yang sangat tegas. Akan tetapi, hukuman had ini ada beberapa perbedaan. Ada yang mengatakan empat puluh kali dera dan ada juga yang mengatakan delapan puluh kali dera. Masing-masing ulama mempunyai dasar untuk pendapat mereka masing-masing.
Beberapa ulama juga berselisih tentang bahan dasar dari khamar. Ada ulama yang mengatakan bahawa khamar yang diharamkan adalah khamar yang terbuat dari perasan anggur. Tapi, ada juga yang mengatakan khamar yang diharamkan adalah segala minuman dan makanan yang memabukkan. Tidak ada kategori untuk bahan dasar pembuatan. Selain itu ada juga yang mengatakan bahwa meminum sedikit hukumnya tidak haram asalkan tidak sampai mabuk. Dan ada juga yang mengatakan haram hukumnya meminum khamar walaupun sedikit.
Para ulama memang sering berbeda pendapat terutama pada masalah yang hukumannya atau ketentuan khususnya belum dipastikan. Para ulama tetap pada pendapat mereka yang diiringi dengan dalil-dalil dari al-Qur’an atau al-hadist. Dalam makalah ini akan diterangkan lebih lanjut mengenai ruang lingkup khamar dan juga perebedaan pendapat para ulama tentang khamar.
Pembahasan
A.     Pengertian khamar dan meminum khamr
B.     Unsur-unsur jarimah minuman khamr
C.     Hukuman had untuk peminum khamr

A.     Pengertian khamar dan meminum khamr

Khamar adalah segala sesuatu yang memabukkan dan dapat merusak akal.[1] Dalam bahasa al-Qur’an sering disebut dengan khamar. Akan tetapi, dalam bahasa kita sering disebut dengan minuman keras. Dua-duanya memiliki subtansi yang sama yaitu memabukkan dan dapat merusak akal. 

Khamar dilarang karena akan menimbulkan berbagai madharat yang sangat besar. Salah satunya adalah merusak akal. Akal adalah salah satu sendi kehidupan manusia yang harus dilindungi dan dipelihara. Dalam rangka pemeliharaan terhadap akal itu, maka segala tindakan yang dirusaknya adalah dilarang. Larangan terhadap mabuk dapat dipahami dari firman Allah dalam surat al-Nisa’ ayat 43:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qç/tø)s? no4qn=¢Á9$# óOçFRr&ur 3t»s3ß 4Ó®Lym (#qßJn=÷ès? $tB tbqä9qà)s?

Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu melakukan shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk sampai kamu mengetahui apa yang kamu ucapkan[2].
Selain itu, sebagaimana telah kita ketahui, para sahabat Nabi SAW telah ber’ijma’ (sepakat) bahwa khamar adalah najis dan setiap yang memabukkan adalah haram. Para ulama’ dari empat madzhab pun menyatkan kesepakatannya tentang itu. Adapun hadits yang menjadi dasarnya adalah:
كُلُّ مُشْكِرٍ خَمْرٌ وَ كُلُّ مُشْكِرٍ حَرَامٌ
Setiap yang memabukkan adalah khamar dan setiap yang memabukkan adalah haram.[3]
Di atas sudah diterangkan bahwa khamar adalah najis, maka setiap sesuatu yang najis adalah haram untuk dimakan walaupun sedikit. Seperti hadits Nabi dari Jabir yang dikeluarkan oleh Ahmad dan empat perawi hadits yang mengatakan:
إِنَّ رَسُوْلَ اللّٰهِ قَالَ : مَاأَشْكَرَ كَثِيْرُهُ فَقَلِيْلُهُ حَرَامٌ
Bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad SAW, bersabda: “apa-apa yang memabukkan dalam ukuran banyak, maka, dalam ukuran sedikit juga haram”[4]
Dalam hal ini khamar adalah termasuk iskar yang bermakna muskir yaitu sesuatu yang memabukkan. Sedangkan istilah yang berhubungan dengan iskar cukup banyak. Paling tidak ada tiga istilah dalam hal ini; muskir (yang memabukkan), mukhaddir (yang menghilangkan kesadaran), dan mufattiir (yang melesukan).
Muskir adalah sesuatu yang mengakibatkan hilangnya akal dan kesadaran, baik berupa minuman ataupun lainnya. Sedangkan Mukhaddir adalah sesuatu yang menyebabkan hilangnya kesadaran pada manusia dan hewan, dengan kadar yang berbeda-beda, seperti ganja dan opium. Kemudian Mufattir adalah minuman yang mengakibatkan tubuh lesu dan malas.
Jadi, tiga istilah di atas sama-sama dapat menyebabkan hilangnya akal dan kesadaran, meskipun kadar prosentasinya berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Mufattir memiliki kadar paling rendah, karena hanya menyebabakan lemas, lesu, diam, dan anggota tubuh tidak bersemangat sama sekali. Hal ini sama seperti bius yang masuk dalam tubuh manusia.
Mukhaddir lebih tinggi kadarnya dari pada mufattir. Misalnya reaksi hasis atau ganja, salah satu mukhaddirat yang dapat merusak pikiran, mengacaukan kkhayalan, banyak angan-angan dan impian, membisu atau banyak bicara, hingga ucapannya lepas control.
Adapun Muskir, kadarnya lebih tinggi dari semua itu. Khamar dan sifat memabukkannya dapat menyebabkan hilangnya akal. Bahaya ini timbul akibat pengaruh alcohol pada sel-sel otak dan jaringan saraf tulang belakang.[5]
Sedangkan pengertian meminum khamar, banyak ulama yang berbeda pendapat dalam hal ini. Menurut Imam Malik, Imam Syafi’I, dan Imam Ahmad, sebagaimana dikutip oleh Abdul Qadir Audah bahwa pengertian meminum khamar adalah sebagai berikut:
.....مَعْنىَ الشُّرْبِ فَهُوَ.....شُرْبُ الْمُشْكِرِ سَوَاءٌ سُمِيَ خَمْرًا أَمْ لَمْ يُسَمِّ خَمْرًا وَسَوَاءٌ كَانَ عَصِيْرًا لِلْعِنَبِ أَوْ لِأَيِّ مَادَّةٍ أُخْرَى
pengertian minum ini adalah…minum-minuman yang memabukkan, baik minuman tersebut dinamakan khamermaupun bukan khamer, baik berasal dari perasan anggur maupun berasal dari bahn-bahan yang lain.
Sedangkan pengertian meminum menurut Imam Abu Hanifah adalah sebagai berikut:
فَاللشُّرْبُ عِنْدَهُ قَاصِرٌ عَلًى شُرْبِ الْخَمْرِ فَقَطْ سَوَاءٌ كَانَ مَا شُرِبَ كَثِيْراً أَوْ قَلِيْلاً
Meminum menurut Abu Hanifah adalah meminum minuman khamar saja, baik yang diminum itu banyak maupun sedikit.
Dari pengertian tersebut dapat dikemukakan bahwa khamr menurut Imam Abu Hanifah adalah minuman yang diperoleh dari perasan anggur. Dengan demikian, Imam Abu Hanifah membedakan antara khamr dan muskir. Khamr hukum meminumnya tetap haram baik sedikit maupun banyak. Adapun selain khamr, yaitu muskir yang terbuat dari bahan-bahan selain perasan buah anggur yang sifatnya memabukkan, baru dikenakan hukuman apabila orang yang meminumnya mabuk. Apabila pelaku tidak mabuk maka pelaku tidak dikenai hukuman.[6]
B.     Unsur-unsur jarimah minuman khamr
Unsur-unsur jarimah minuman khamr ada dua macam, yaitu
1.      Asy-syurbu (meminum)
2.      Niat yang melawann hokum
1.      Asy-syurbu
Sesuai dengan pengertian asy-syurbu sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, Imam Malik, Imam Syafi’I, dan Imam Ahmad berpendapat bahwa unsur ini (asy-syurbu) terpenuhi apabila pelaku meminum sesuatu yang memabukkan. Dalam hal ini tidak diperhatikan nama dari minuman itu dan dari bahan apa minuman itu diproduksi. Dengan demikian, tidak ada perbedaan apakah yang diminum itu dibuat dari perasan buah anggur, gandum, kurma, tebu, maupun bahan-bahan yang lainnya. Demikian pula tidak diperhatikan kadar kekuatan memabukkannya, baik sedikit maupun banyak, hukumannya tetap haram.
Akan tetapi, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa unsur pertama ini tidak dapat terpenuhi kecuali apabila yang diminum  itu khamr.
Apabila pendapat jumhur ulama tersebut kita ikuti maka semua jenis bahan yang memabukkan hukumnya tetap haram, seperti ganja, kokain, heroin, dan semacamnya. Hanya saja karena meminum merupakan unsur penting dalam jarimah minuman khamr maka bahan-bahan yang dikonsumsi tidak dengan jalan diminum, seperti ganja, kokain, heroin, dan semacamnya tidak mengakibatkan hukuman had, mkelainkan hukuman ta’zir.
Seseorang dianggap minum apabila barang yang diminumnya telah sampai ke tenggorokan. Apabila minuman tersebut tidak  sampai ke tenggorokan maka tidak dianggap meminum, seperti berkumur-kumur. Apabila ia meminum karena terpaksa atau dipaksa, maka hukumnya boleh dan tiodak dikenai hukuman.
Apabila seseorang meminum khamr untuk obat, maka, para fuqaha berbeda pendapat mengenai status hukumnya. Menurut pendapat yang rajah dalam madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, berobat dengan menggunakan (minuman) khamr merupakan perbuatan yang dilarang, dan peminumnya (pelaku) dapat dikenai hukuman had. Alasan mereka adalah hadis Nabi SAW.
a.       Hadis yang diriwayatkan Ummi Salamah
عَنْ أُمِّ سَلَمَهْ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهَا عَنِ اللنَّبِيِّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ قَالَ : إِنَّ اللّٰهَ لَمْ يَجْعلْ أَخْرَجَهُ البيهقي وَ صححه إبن حبّانشِفَاءَكُمْ فِيْمَا حَرَّمَ عَلَيْكُم

Dari Ummi Salamah ra. Dari Nabi SAW. Beliau bersabda: “Ssesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhanmu di dalam barang yang diharamkan atas kamu”. (Hadia ini dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dan dishahihkan oleh Ibn Hibban).
b.      Hadis yang diriwayatkan Wail Al-Hadhrami

عَنْ وَاىٕلْ الْحَضْرَمِي أَنَّ طَارِقَ ابْنُ سُوَيْدْ سَأَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ عَنِ الْخَمْرِ يَصْنَعُهَا لِلدَّوَاءِ فَقَالَ : إِنَّهَا لَيْسَتْ بِدَوَاءٍ وَلٰكِنَّهَا دَاءٌ أخرجه مسلم و أبو داود وغيرهما

Dari Wail Al-hadhrami berkata bahwa Thariq ibn Suwaid bertanya kepada Nabi SAW. Tentang hukum khamr yang dibuat untuk obat. Nabi menjawab: “sesungguhnya khamr itu bukan obat, melainkan penyakit”. (Hadis ini dikeluarkan oleh Imam Muslim, Abu Dawud, dan lainnya).
Akan tetapi, menurut Imam Abu Hanifah, berobat dengan hukumnya boleh dengan syarat tidak ada obat yang halal yang dapat menyembuhkan penyakit itu. Hal ini disamakan dengan kebolehan meminum khamr dalam keadaan darurat.
2.      Adanya niat yang melawan hukum
Unsur ini terpenuhi apabila seseorang melakukan perbuatan minum-minuman keras (khamr) padahal ia tahu bahwa apa yang diminumnya itu adalah khamr atau muskir. Dengan demikian, apabila seseorang minum minuman yang memabukkan, tetapi ia menyangka  bahwa apa yang diminumnya itu adalah minuman biasa yang tidak memabukkan maka ia tidak dikenai hukuman had, karena tidak ada unsur melawan hukum.
Apabila seseorang tidak tahu bahwa minuman khamr itu dilarang, walaupun ia tahu bahwa barang tersebut memabukkan maka dalam hal ini unsur melawan hukum (qasad jina’i) belum terpenuhi. Karena orang yang tidak tahu, maka tidak dapat dikenai hukuman.[7]

C.    Hukuman had untuk peminum khamr
Al-Qur’an tidak menegaskan hukuman bagi pelakunya. Hal itu diletakkan oleh Nabi yang melalui sunnah fi’liyahnya diketahui bahwa hukuman dari jarimah ini adalah empat puluh kali dera. Abu Bakar mengikuti jejak ini. Tetapi, Umar ibnul Khattab menjatuhkan delapan puluh kali dera. Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, sanksi meminum khamr adalah delapan puluh kali dera, sedangkan menurut Imam Syafi’i adalah empat puluh kali dera, tetapi ia kemudian menambahkan bahwa Imam boleh menambah menjadi delapan puluh kali dera. Jadi yang empat puluh kali dera adalah hukuman had, sedangkan sisanya adalah hukuman ta’zir.[8]
      Adapun sebab terjadinya perbedaan dalam penentuan hukuman ini adalah karena nas yang qath’i yang mengatur tentang hukuman had bagi peminum khamr ini tidak ada. Di samping itu, tidak ada riwayat yang memastikan adanya ijma’ sahabat dalam penetapaan hukuman had bagi peminum khamr, sebagaimana yang dikemukakan oleh satu kelompok. Walaupun al-Qur’an mengharaamkan khamr, yang kemudian diperkuat oleh hadits Nabi, namun, untuk hukumannya sama sekali tidak ditetapkan secara pasti. Rasulullah menghukum orang yang meminum khamr dengan pukulan yang sedikit atau banyak, tetapi tidak lebih dari empat puluh kali. Abu Bakar juga demikian. Pada masa pemerintahan Khalifah Umar, beliau bingung memikirkan orang-orang yang bertambah banyak meminum khamr. Beliau mengadakan musyawaarah dengan para sahabat untuk menetapkan hukumannya. Diantara sahabat yang berbicaara adalah Abdurrahman bin Auf. Beliau mengatakan bahwa hukuman had yang paling ringan atau rendah adalah delapan puluh kali dera. Sayyidina Umar akhirnya menyetujui pendaapat tersebut dan ditetapkan sebagai keputusan bersama, yang kemudian dikirimkan ke daaerah-daerah antara lain Syam yang waktu itu penguasanya Khalid dan Abu Ubaidah.
      Fuqaha’ yang menganggap bahwa hukuman had untuk peminum khamr itu delapan puluh kali berpendaapat baahwa para sahabat telah sepakat (ijma’), sedangkan ijma’ merupakan salah satu sumber hukum (dalil) syara’. Akan teapi, mereka yang berpendapat bahwa hukuman had bagi peminum khamr itu empat puluh kali dera beralasan dengan sunnah, yang menjilid meminum khamr dengan empat puluh kali dera, yang kemudian diikuti juga oleh khalifah Abu Bakar. Mereka berpendapat bahwa tindakan Nabi SAW. Itu merupakan hujjah yang tidak boleh ditinggalkan karena adanya perbuatan orang lain dan ijma’ tidak boleh terjadi atas keputusan yang menyalahi perbuatan Nabi dan para sahabat. Dengan demikian, mereka menafsirkan kelebihan empat puluh dera dari Sayyidina Umar itu merupakan hukuman ta’zir yang boleh diterapkan apabila imam (hakim) memandang perlu.
      Dari uraian tersebut, dapat dikemukakan bahwa para ulama sepakat, hukuman dera yang empat puluh kali jelas merupakan hak Allah, yaitu merupakan hukuman had, sehingga hukuman tersebut tidak boleh dimaafkan atau digugurkan. Akan tetapi, dera yang empat pulu lagi diperselisihkan para ulama. Sebagian menganggapnya sebagai had yang waajib dilaksanakan bersama-sama dengan dera yang empat puluh tadi, dan sebagian menganggapnya sebagai ta’zir yang penerapannya diserahkan kepaada pertimbangan ulil amri (imam/hakim).[9]

Kesimpulan
      Dari berbagai penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa khamr adalah segala sesuatu yang memabukkan. Dengan hukuman had dua pendapat empat puluh kali dera dan delapan puluh kali dera. Empat puluh sebagai hukuman had, sedangkan yang menambahkan empat puluh kali adalah sebagai hukuman ta’zir. Orang dianggap meminum khamr dan mendapatkan hukuman apabila dia sengaja meminum dan sudah sampai ke tenggorokan hingga masuk perut, dan juga ada niat untuk melanggar larangan meminum khamr padahal dia tahu bahwa khamr diharamkan.
Penutup
      Demikian makalah yang saya buat. Jika ada kesalahan dalam penulisan atau penyampaian saya meminta maaf yang sebesar-besarnya. Dan tidak lupa kritikan dan saran saya harapkan dari pembaca semua untuk perbaikan makalah selanjutnya.

Daftar Pustaka
Wardi Muslich, Ahmad, Drs. H, Hukum Pidana Islam, 2005, Jakarta: Sinar Grafika
Mustafa Ya’qub, Ali, Kriteria Halal Haram, 2009, Jakarta: Pustaka Firdaus
Rusdy Ibnu, BidayatulMujtahid, 1969, Jakarta: Bulan Bintang
Syarifuddin Amir, Garis Garis Besar Fiqh, 2003, Jakarta: Prenada Media
Santoso Topo, Membumikan Hukum Pidana Islam, 2003, Jakarta: Gema Insani Press



[1]           Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqih, (Jakarta : Prenada Media, 2003), Cet. I, hal. 289.
[2]           Drs. H. Ahmad Wardi Mushlich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005), Cet. 1, hal. 72.
[3]                 K.H. Ali Musthafa Ya’qub, Kriteria Halal Haram, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2009), Cet. 1, hal. 109.
[4]                 Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid, (Jakarta : Bulan Bintang, 1969), Cet. 1, hal. 139.
[5]           K.H. Ali Musthafa Ya’qub, Op. Cit., hal. 107.
[6]           Drs. H. Ahmad Wardi Mushlich, Op. Cit., hal. 74.
[7]           Ibid, hal. 74-76.
[8]           Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Gema Insani Press, 2003), Cet. I, hal. 27-28.
[9]           Drs. H. Ahmad Wardi Mushlich, Op. Cit., hal. 77.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar